JAKARTA, Bharata online - Jepang sedang mempertimbangkan untuk merevisi "tiga prinsip non-nuklir" yang telah lama berlaku, Kyodo News melaporkan pada hari Sabtu, sebuah perkembangan yang telah menuai kritik tajam dari Kementerian Luar Negeri Tiongkok, yang memperingatkan bahwa langkah tersebut mengirimkan "sinyal berbahaya" kepada masyarakat internasional.
Menurut Kyodo, yang mengutip beberapa sumber pemerintah, Perdana Menteri Sanae Takaichi sedang menjajaki potensi amandemen sebagai bagian dari rencana perombakan Strategi Keamanan Nasional Jepang dan dua dokumen keamanan terkait. Revisi tersebut dilaporkan didorong oleh kekhawatiran bahwa prinsip "tidak memperkenalkan" senjata nuklir dapat melemahkan efektivitas pencegahan nuklir AS.
Perubahan besar dalam kebijakan keamanan
Jika disetujui, revisi tersebut akan mewakili perubahan signifikan dalam doktrin keamanan Jepang pascaperang. Kyodo mencatat bahwa sebagai satu-satunya korban bom atom di masa perang, Jepang telah lama memperjuangkan dunia bebas nuklir, dan setiap kemunduran dari sikap ini dapat memicu reaksi keras dari dalam dan luar negeri.
Tiga prinsip non-nuklir Jepang menyatakan bahwa Jepang tidak akan memiliki atau memproduksi senjata nuklir, dan tidak akan mengizinkan masuknya senjata nuklir ke wilayah Jepang. Prinsip-prinsip ini telah lama dianggap sebagai landasan kebijakan nuklir Jepang.
Sumber-sumber mengatakan kepada Kyodo bahwa Takaichi bermaksud mempertahankan prinsip "tidak memiliki" dan "tidak memproduksi" sesuai dengan kewajiban Jepang di bawah Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT). Namun, ia khawatir bahwa kepatuhan ketat terhadap prinsip "tidak memperkenalkan" dapat mencegah kapal-kapal bersenjata nuklir AS memasuki pelabuhan-pelabuhan Jepang dalam keadaan darurat, sehingga melemahkan pencegahan.
Dalam sidang parlemen hari Senin, Takaichi menegaskan bahwa ia tidak dapat menjamin bahwa Strategi Keamanan Nasional Jepang yang telah direvisi akan terus secara eksplisit mencakup ketiga prinsip tersebut. Dalam buku yang ia terbitkan pada tahun 2024, ia juga berpendapat bahwa prinsip-prinsip tersebut "tidak realistis", dengan mengatakan bahwa AS mungkin perlu mengerahkan senjata nuklir di Jepang untuk mencegah musuh.
Partai Demokrat Liberal yang berkuasa berencana untuk segera memulai diskusi internal dan menargetkan penyusunan rekomendasi pada musim semi mendatang. Pemerintah dapat merevisi dokumen tersebut pada akhir tahun depan.
Selain merevisi kebijakan keamanan, pemerintah Jepang saat ini juga mempertimbangkan untuk memperkenalkan kapal selam bertenaga nuklir. Pekan lalu, Menteri Pertahanan Shinjiro Koizumi mengatakan dalam sebuah program TBS bahwa lingkungan keamanan Jepang telah menjadi sangat parah, dan menyarankan agar kapal selam Pasukan Bela Diri beralih ke tenaga nuklir.
Meningkatnya kekhawatiran di kalangan tetangga
Tiongkok menyatakan keprihatinan yang mendalam atas langkah-langkah Jepang baru-baru ini. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Lin Jian mengatakan dalam jumpa pers rutin pada hari Jumat bahwa sikap ambigu Tokyo terhadap tiga prinsip non-nuklir, beserta pernyataan para pejabat senior yang mengisyaratkan Jepang mungkin mempertimbangkan kapal selam nuklir, mencerminkan "pergeseran negatif yang besar" dalam arah kebijakan Jepang dan mengirimkan "sinyal berbahaya" kepada komunitas internasional.
Lin mengkritik Jepang karena menjauh dari komitmen pascaperangnya terhadap perdamaian, dengan mencatat bahwa Jepang telah meningkatkan anggaran pertahanannya, melonggarkan pembatasan ekspor senjata, dan mengembangkan kemampuan ofensif dalam beberapa tahun terakhir. Ia juga mengecam pernyataan Takaichi baru-baru ini tentang Taiwan sebagai "sangat provokatif."
"Apakah Jepang benar-benar telah menarik garis yang jelas dari militerisme? Apakah pemerintah Jepang sungguh-sungguh mematuhi kebijakan bela diri eksklusif dan tiga prinsip non-nuklirnya? Akankah Jepang tetap menepati komitmennya terhadap pembangunan yang damai?" tanya juru bicara tersebut, mendesak Jepang untuk merenungkan secara mendalam sejarah masa perangnya dan berhenti mencari-cari alasan untuk memperluas militernya.
Kelompok-kelompok anti-nuklir domestik Jepang juga telah menyuarakan penentangan keras, dengan mengatakan bahwa negara tersebut memiliki tanggung jawab moral – yang berakar pada tragedi Hiroshima dan Nagasaki – untuk menentang senjata nuklir dan keberadaannya di wilayahnya. Namun, seiring memudarnya ingatan masa perang dan kekuatan sayap kanan Jepang mendapatkan momentum, kebijakan luar negeri negara tersebut menjadi semakin agresif, yang meningkatkan kekhawatiran di antara negara-negara tetangganya.
Tahun ini menandai peringatan 80 tahun kemenangan Perang Perlawanan Rakyat Tiongkok Melawan Agresi Jepang dan peringatan 80 tahun restorasi Taiwan. Lin mendesak Jepang untuk tetap berkomitmen pada pembangunan damai dan mengambil tindakan nyata guna meraih kepercayaan dari negara-negara tetangganya di Asia dan komunitas internasional. [CGTN]