Bharata Online - Ketegangan terbaru antara Tiongkok dan Jepang kembali menegaskan bahwa Asia Timur kini berada di ambang babak konfrontasi geopolitik yang jauh lebih berbahaya dibandingkan satu dekade terakhir.

Pernyataan Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi bahwa Tokyo dapat mengerahkan Pasukan Bela Diri Jepang jika Beijing melakukan operasi militer terhadap Taiwan tidak hanya memicu kecaman keras dari Tiongkok, tetapi juga menghidupkan kembali luka sejarah, memicu alarm di negara-negara tetangga, dan mengguncang fondasi stabilitas kawasan.

Tiongkok menganggap Taiwan sebagai bagian tak terpisahkan dari wilayahnya, sebuah garis merah absolut sehingga setiap ucapan atau kebijakan Jepang yang menyiratkan intervensi militer berarti pelanggaran serius terhadap kedaulatan Tiongkok.

Dalam perspektif Beijing, Jepang bukan hanya mengintervensi isu internal, tetapi juga secara aktif mencoba membuka kembali pintu masa lalu kelam yang berakar pada militerisme era Perang Dunia II.

Situasi semakin memanas setelah Jepang mengumumkan rencana menempatkan unit rudal darat-ke-udara Tipe-03 di Pulau Yonaguni, titik terdekat Jepang dari Taiwan, hanya berjarak sekitar 110 kilometer.

Menteri Pertahanan Shinjiro Koizumi mengklaim bahwa penempatan rudal itu bertujuan “mengurangi kemungkinan serangan bersenjata” terhadap Jepang, namun Beijing melihatnya sebagai langkah provokatif yang disengaja untuk menciptakan ketegangan dan memicu konfrontasi militer.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Mao Ning, menyebut rencana ini sebagai upaya berbahaya dalam konteks meningkatnya orientasi militer Jepang yang semakin selaras dengan strategi Indo-Pasifik Amerika Serikat. 

Bahkan, Tiongkok menilai langkah Jepang ini sejalan dengan agenda “menghidupkan kembali militerisme Jepang” yang secara historis sudah terbukti membawa kehancuran besar di Asia.

Dalam beberapa tahun terakhir, Jepang memang telah melakukan transformasi besar terhadap kebijakan pertahanannya. Anggaran militernya meningkat tajam, pembatasan ekspor senjata mulai dilonggarkan, dan upaya membangun kapabilitas senjata ofensif terus digencarkan.

Lebih dari itu, Jepang secara terbuka berencana meninjau ulang Tiga Prinsip Non-Nuklir yang selama puluhan tahun menjadi batas moral dan politik bagi penggunaan teknologi nuklir. Penyesuaian kebijakan ini, ditambah rencana pengembangan kapal selam bertenaga nuklir, menjadi sinyal bahwa Jepang semakin menjauh dari Konstitusi Perdamaian pascaperang yang selama ini menjadi fondasi identitas negara itu sebagai kekuatan damai.

Bagi Tiongkok, seluruh perkembangan ini menunjukkan arah pergerakan Jepang menuju apa yang mereka sebut sebagai kebangkitan pasukan sayap kanan dan militerisme baru.

Krisis diplomatik antara kedua negara semakin memburuk setelah Tiongkok melaporkan Jepang ke Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui surat resmi yang menuduh Tokyo telah mengancam “intervensi bersenjata” terkait Taiwan.

Beijing tidak hanya menuntut Takaichi menarik pernyataannya, tetapi juga menerapkan langkah-langkah balasan seperti larangan bepergian ke Jepang, penyetopan impor seafood, pelarangan pemutaran film Jepang di dalam negeri, hingga instruksi agar beberapa diplomat Jepang meninggalkan Tiongkok.

Efek ekonomi langsung mulai terasa di Tokyo, mulai dari jatuhnya indeks saham dalam beberapa hari berturut-turut, hingga potensi kerugian ekonomi mencapai 2,2 triliun yen atau sekitar 234 triliun rupiah akibat berkurangnya wisatawan Tiongkok.

Di sisi lain, dinamika militer antara kedua negara tidak seimbang. Berdasarkan data Global Firepower 2025, Tiongkok menempati posisi ketiga terkuat di dunia, jauh di atas Jepang yang berada pada peringkat kedelapan.

Tiongkok bahkan unggul di hampir semua dimensi, seperti 2 juta personel aktif dibandingkan 247 ribu milik Jepang, 3.309 unit kekuatan udara dibandingkan 1.443 unit Jepang, 144.017 kendaraan lapis baja dibandingkan hanya 31.964 unit milik Jepang, hingga 754 unit armada laut termasuk 3 kapal induk dan 61 kapal selam dibandingkan hanya 159 unit milik Jepang yang bahkan tidak memiliki kapal induk sama sekali. 

Dengan anggaran militer mencapai lebih dari 266 miliar dolar Amerika Serikat atau sekitar 4.453 triliun rupiah dibandingkan Jepang yang hanya 951 triliun rupiah, Tiongkok memiliki kapasitas untuk melawan bahkan menahan agresi militer negara-negara maju sekalipun.

Ketimpangan ini mendorong pertanyaan strategis, mengapa Jepang tampak berani mengambil langkah provokatif terhadap Tiongkok, padahal secara militer tidak memiliki peluang kemenangan secara konvensional? Di sinilah faktor Amerika Serikat memainkan peran sentral.

Sejak Perang Dunia II, Jepang telah menjadi sekutu utama Amerika Serikat di Asia Timur. Washington menganggap Jepang sebagai pilar penting dalam strategi mereka menahan kebangkitan Tiongkok. Di bawah kerangka keamanan bersama, setiap ancaman terhadap Jepang dapat memicu intervensi militer Amerika Serikat.

Kehadiran pangkalan militer Amerika Serikat di Jepang, termasuk di Okinawa, menjadi faktor penguat keyakinan Jepang bahwa mereka tidak berdiri sendiri dalam menghadapi Tiongkok. Dalam konteks inilah pernyataan Takaichi dapat dibaca bukan semata sebagai sikap independen Jepang, melainkan sebagai refleksi dari strategi bersama Washington-Tokyo untuk menekan Beijing melalui masalah Taiwan.

Amerika Serikat memiliki kepentingan strategis yang sangat tinggi dalam mempertahankan kendali atas jalur laut dan keseimbangan kekuatan di kawasan Indo-Pasifik. Taiwan adalah bagian integral dalam rantai pulau yang menjadi penahan kekuatan maritim Tiongkok.

Jika Taiwan jatuh ke tangan Beijing, dominasi Amerika Serikat di Indo-Pasifik akan runtuh, dan Jepang akan menjadi negara yang rentan secara strategis. Oleh karena itu, dukungan Amerika Serikat terhadap Jepang tidak hanya bersifat normatif, tetapi struktural dan sistematis.

Amerika Serikat telah meningkatkan latihan militer gabungan, memperluas kehadiran kapal induk di kawasan, dan mempercepat integrasi sistem pertahanan rudal dengan Jepang. Di balik layar, Washington mendorong Tokyo agar lebih vokal dan lebih aktif dalam masalah Taiwan sebagai bagian dari “front united” atau aliasi strategis untuk menghadapi kebangkitan Tiongkok.

Namun, dukungan Amerika Serikat ini juga membuat Jepang berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi, Jepang membutuhkan Amerika Serikat untuk mengimbangi kekuatan Tiongkok. Di sisi lain, keberanian Jepang bersikap keras terhadap Beijing justru memperburuk hubungan bilateral dan mengancam stabilitas ekonomi Jepang sendiri, mengingat Tiongkok adalah mitra dagang terbesar mereka.

Bahkan para politisi senior Jepang seperti Shigeru Ishiba, Yukio Hatoyama, dan Yoshihiko Noda memperingatkan bahwa pernyataan Takaichi bukan hanya sembrono, tetapi juga merusak fondasi hubungan diplomatik yang telah dibangun selama bertahun-tahun.

Mereka menilai bahwa diplomasi bukanlah adu keras suara, melainkan seni merawat stabilitas melalui komunikasi hati-hati dan menghormati sensitivitas masing-masing pihak.

Situasi ini juga diperburuk oleh sentimen nasionalisme dan tekanan politik internal Jepang. Kelompok-kelompok sayap kanan yang semakin kuat dalam pemerintahan Takaichi mendorong narasi revisionisme sejarah dan ambisi menjadikan Jepang kembali sebagai kekuatan militer penuh.

Kemenangan politik mereka menghidupkan kembali wacana revisi Konstitusi Perdamaian. Hal ini memicu kekhawatiran mendalam tidak hanya di Tiongkok, tetapi juga di Korea Selatan, Rusia, dan Korea Utara. Ketiga negara tersebut secara historis memiliki konflik panjang dengan Jepang dan sangat sensitif terhadap tanda-tanda kebangkitan kembali militerisme Jepang.

Penolakan mereka terhadap pernyataan dan kebijakan Takaichi memperjelas bahwa Jepang telah menempatkan dirinya di pusat gelombang kecurigaan dan ketidakpercayaan regional.

Di tengah seluruh dinamika ini, Tiongkok bersikap tegas bahwa mereka tidak akan membiarkan pihak mana pun menantang kedaulatan mereka atas Taiwan, tidak akan mentoleransi kebangkitan militerisme Jepang, dan tidak akan memberi ruang bagi kekuatan eksternal termasuk Amerika Serikat untuk mencampuri urusan dalam negeri Tiongkok.

Beijing menegaskan bahwa mereka memiliki tekad, kemampuan, dan kekuatan militer yang cukup untuk menjaga integritas teritorialnya. Reaksi keras Tiongkok terhadap Takaichi, penempatan rudal Jepang, serta manuver politik Tokyo mencerminkan sensitivitas historis dan geopolitik yang mendasari seluruh konflik ini. Bagi Tiongkok, pertarungan ini bukan sekadar soal Taiwan, melainkan soal mempertahankan tatanan internasional pascaperang dan mencegah terulangnya tragedi sejarah.

Di tengah ketegangan yang memuncak, Asia Timur menghadapi risiko baru terkait percepatan perlombaan senjata, polarisasi geopolitik yang semakin tajam, dan potensi salah perhitungan yang dapat memicu konflik bersenjata.

Di balik semua itu, ketergantungan Jepang pada Amerika Serikat justru menjadi pedang bermata dua. Aliansi itu memang memberikan rasa aman, tetapi juga mendorong Jepang mengambil posisi yang semakin konfrontatif, bahkan di luar batas kemampuan militernya sendiri.

Jika krisis Taiwan benar-benar pecah, Jepang akan menjadi target pertama dalam skenario pembalasan Tiongkok. Para analis militer Tiongkok menegaskan bahwa setiap penempatan rudal atau fasilitas militer Jepang di dekat Taiwan akan dianggap sebagai ancaman langsung dan menjadi sasaran serangan presisi.

Oleh karena itu, stabilitas kawasan sangat membutuhkan kebijaksanaan. Jepang harus menahan diri dari strategi provokatif yang memperburuk hubungan dengan Tiongkok, sementara Tiongkok perlu mengelola konflik diplomatik dengan cara yang tidak mendorong eskalasi tak terkendali.

Amerika Serikat juga harus menyadari bahwa dukungan berlebihan terhadap langkah Japan dapat memicu spiral ketegangan yang pada akhirnya merugikan semua pihak. Perdamaian Asia Timur telah menjadi salah satu fondasi pertumbuhan ekonomi global. Jika kawasan ini berubah menjadi zona konfrontasi baru, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh Beijing dan Tokyo, tetapi oleh seluruh dunia.

Satu hal yang pasti bahwa kebangkitan militerisme Jepang tidak boleh dibiarkan, dan eksploitasi masalah Taiwan oleh kekuatan eksternal tidak boleh menjadi pemicu perang baru di Asia Timur. Komunitas internasional harus bergerak bersama, memastikan bahwa tatanan pascaperang dijaga, perdamaian dilindungi, dan tidak ada negara yang kembali terjerumus dalam ambisi keliru yang pernah membawa dunia ke dalam kehancuran.

Yang dibutuhkan Asia Timur adalah stabilitas bukan konfrontasi, diplomasi bukan provokasi, dan kehati-hatian bukan retorika yang membakar. Jika Jepang dan Amerika Serikat gagal memahami realitas ini, maka konsekuensinya dapat menjadi bencana yang akan mengguncang seluruh tatanan global.