Bharata Online - Tiongkok lagi-lagi memperlihatkan kepada dunia kemajuannya dalam infrastruktur yang luar biasa pesat, mulai dari pembangunan 75.000 kilometer jalan pedesaan, pembukaan Jembatan Ketiga Sungai Yangtze di Tongling, serta lonjakan wisata di Xinjiang dan Tibet berkat peningkatan infrastruktur.
Ini bukan sekadar laporan kemajuan fisik di Tiongkok melainkan simbol dari satu hal yang jauh lebih besar, yakni transformasi strategis yang menunjukkan bagaimana negara ini menata kembali struktur ekonomi domestik dan sekaligus menegaskan posisi geopolitiknya di dunia.
Di saat negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat (AS) sibuk memperdebatkan isu politik internal dan stagnasi infrastruktur, Tiongkok bergerak dalam senyap namun pasti dengan menghubungkan desa ke kota, mengintegrasikan wilayah terpencil ke pusat pertumbuhan, dan memperkuat jaring konektivitas yang menjadi urat nadi ekonomi masa depan.
Secara empiris, data yang dirilis pada acara bertema jalan pedesaan di Kota Quzhou mencerminkan tingkat efisiensi dan kecepatan pembangunan yang luar biasa, dengan 75.000 kilometer jalan pedesaan diselesaikan hanya dalam sembilan bulan pertama, atau 75,4 persen dari target tahunan.
Investasi aset tetap untuk sektor ini menembus lebih dari 275,3 miliar yuan (setara 647 triliun rupiah). Jika dibandingkan, AS bahkan tidak memiliki program infrastruktur nasional dengan capaian simultan dan skala sebanding dalam periode yang sama, yang mana proyek-proyek seperti Infrastructure Investment and Jobs Act yang digagas Presiden Biden berjalan lambat, penuh polemik politik, dan berhadapan dengan birokrasi yang rumit. Tiongkok, sebaliknya, memperlihatkan model pembangunan yang terkonsolidasi, terencana, dan dijalankan dengan disiplin nasional.
Dari perspektif teori hubungan internasional, apa yang dilakukan Tiongkok mencerminkan sinergi antara paradigma developmental state dan strategi geoekonomi ala Realist Constructivism. Negara berperan aktif mengarahkan pembangunan untuk tujuan ganda dengan memperkuat basis ekonomi dalam negeri sekaligus meningkatkan posisi strategis global.
Jalan-jalan pedesaan yang dibangun tidak hanya memperlancar arus logistik pertanian dan perdagangan, tetapi juga menjadi alat redistribusi kesejahteraan. Dengan menghubungkan jutaan warga desa ke pusat ekonomi baru, Tiongkok menciptakan model pembangunan inklusif yang kontras dengan neoliberalisme Barat, yang cenderung menyerahkan pembangunan kepada mekanisme pasar bebas tanpa intervensi negara yang terarah.
Jembatan Ketiga Sungai Yangtze di Tongling, yakni jembatan kabel-suspensi bertingkat yang pertama di dunia untuk lalu lintas jalan raya dan kereta api menjadi contoh konkret dari keunggulan teknologis dan perencanaan strategis ini. Dibangun enam bulan lebih cepat dari jadwal, jembatan dengan bentang utama 988 meter ini bukan hanya prestasi teknik sipil melainkan simbol kecakapan nasional Tiongkok dalam menggabungkan efisiensi, keamanan, dan inovasi.
Sistem kabel-suspensi ganda yang digunakan mencerminkan lompatan teknologi yang bahkan negara-negara Barat kini sulit menandingi karena biaya konstruksi dan perizinan mereka terlalu tinggi. Dengan investasi 8,78 miliar yuan (setara 20 triliun rupiah), jembatan ini menghubungkan jalur transportasi lintas provinsi di Anhui dan memperkuat Sabuk Ekonomi Sungai Yangtze, bagian penting dari strategi nasional Belt and Road Initiative (BRI) yang kini telah menjadi jaringan konektivitas global melintasi Asia, Afrika, dan Eropa.
Jika dilihat melalui perspektif geoekonomi, pembangunan infrastruktur raksasa seperti ini adalah perwujudan dari apa yang disebut Joseph Nye sebagai smart power, yakni kekuatan keras seperti teknologi, logistik, modal, dan lainnya dipadukan dengan kekuatan lunak seperti citra, konektivitas, nilai kemajuan, dan lainnya. Jembatan, rel, dan jalan pedesaan bukan hanya infrastruktur fisik, mereka adalah simbol keberhasilan sistem pemerintahan yang mampu menyeimbangkan antara efektivitas otoritas negara dan kebutuhan rakyat.
Bandingkan dengan kondisi infrastruktur AS yang menua, dimana menurut American Society of Civil Engineers, sekitar 46.000 jembatan di AS dinyatakan dalam kondisi buruk atau membutuhkan perbaikan mendesak. Tiongkok sebaliknya, membangun jembatan baru yang tidak hanya efisien tetapi juga berfungsi ganda untuk lalu lintas jalan raya dan kereta api sekaligus, menandakan efisiensi desain dan visi jangka panjang.
Selain aspek teknologis, dampak sosial dan ekonomi dari kebijakan infrastruktur Tiongkok juga sangat luas. Di wilayah Xinjiang dan Tibet, investasi pada pariwisata berbasis budaya dan alam kini telah menghasilkan hasil yang konkret. Xinjiang menerima lebih dari 260 juta wisatawan dalam sembilan bulan pertama tahun 2025, meningkat lebih dari 8 persen dibanding tahun sebelumnya.
Tibet mencatat lebih dari 57 juta pengunjung dari Januari hingga Agustus 2025, naik 11,3 persen dari tahun lalu. Ini bukan hanya angka ekonomi, tetapi bukti bahwa integrasi antara pembangunan fisik dan promosi budaya mampu menciptakan stabilitas sosial serta membuka lapangan kerja baru di daerah-daerah yang sebelumnya terisolasi.
Strategi ini menunjukkan bagaimana Tiongkok menggunakan paradigma soft power development, yaitu menggabungkan pertumbuhan ekonomi dengan diplomasi budaya untuk memperkuat legitimasi nasional dan citra internasionalnya.
Proyek “Melihat Bintang di Tibet”, “Tur Musim Dingin Tibet”, hingga “Pekan Cita Rasa Tibet” adalah bagian dari upaya membangun identitas nasional yang positif dan inklusif, sesuatu yang sangat berbeda dengan pendekatan politik intervensif Barat yang seringkali mengedepankan narasi “demokrasi versus otoritarianisme” tanpa solusi ekonomi nyata bagi masyarakat di negara berkembang.
Secara lebih luas, model pembangunan Tiongkok telah menjadi alternatif global terhadap paradigma pembangunan Barat. Dalam dua dekade terakhir, banyak negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin mulai meniru pendekatan Tiongkok yang menempatkan infrastruktur sebagai fondasi utama pertumbuhan.
Ini dapat dijelaskan melalui teori South-South Cooperation, yakni kerja sama antarnegara berkembang yang berbasis solidaritas dan kemandirian, bukan ketergantungan pada lembaga keuangan Barat seperti International Monetary Fund (IMF) atau Bank Dunia. BRI adalah perwujudan nyata dari gagasan ini, yang telah membuka jalur investasi lintas batas, transfer teknologi, dan pertukaran budaya yang bersifat saling menguntungkan (win-win cooperation), bukan dominatif seperti sistem bantuan luar negeri tradisional Barat.
Dari sudut pandang politik internasional, keberhasilan Tiongkok membangun infrastruktur secara cepat dan efisien juga berfungsi sebagai alat proyeksi kekuatan (power projection). Semakin luas konektivitas internalnya, semakin tinggi kemampuan negara ini untuk menopang ekonomi regional di Asia Timur dan Tengah.
Hal ini memberi Tiongkok posisi tawar yang lebih kuat dalam negosiasi perdagangan global, terutama dalam konteks kompetisi ekonomi dengan AS yang kini menghadapi stagnasi industri dan polarisasi sosial. Dengan kata lain, jalan-jalan pedesaan dan jembatan-jembatan megastruktur yang dibangun bukan hanya untuk rakyat Tiongkok, tetapi juga untuk memperkuat struktur ekonomi global yang berporos ke Timur.
Namun, keunggulan Tiongkok tidak berarti tanpa tantangan. Negara ini harus memastikan bahwa percepatan pembangunan tidak mengorbankan kelestarian lingkungan, keseimbangan sosial, dan keberlanjutan jangka panjang. Makanya, tantangan tersebut dihadapi dengan kebijakan pembangunan hijau (green development) yang kini menjadi agenda nasional seperti penggunaan bahan ramah lingkungan dalam proyek jalan dan jembatan, serta program “pariwisata rendah karbon” di kawasan sensitif seperti Tibet. Pendekatan semacam ini menunjukkan bahwa Tiongkok tidak hanya mengejar pertumbuhan kuantitatif, tetapi juga kualitas hidup dan harmoni ekologis.
Oleh karena itu, pembangunan jalan, jembatan, dan sektor pariwisata di Tiongkok bukan sekadar urusan domestik, tetapi bagian dari strategi global yang cermat dalam memperkuat daya saing ekonomi, meningkatkan konektivitas antarwilayah, memperluas pengaruh budaya, dan menggeser pusat gravitasi pembangunan dunia dari Barat ke Timur.
Sementara AS dan Eropa masih sibuk mengatasi krisis politik internal dan keterlambatan infrastruktur, Tiongkok melaju sebagai negara yang mengubah kemajuan menjadi diplomasi, dan diplomasi menjadi kekuatan ekonomi yang nyata. Dari jalan pedesaan di Zhejiang hingga jembatan megastruktur di Sungai Yangtze, infrastruktur kini bukan hanya batu dan baja melainkan fondasi peradaban baru yang tengah dibangun oleh Tiongkok untuk menggantikan dominasi lama dunia Barat.