Bharata Online - Pesta Olahraga Nasional ke-15 yang digelar di Guangdong, Hong Kong, dan Makau sedang menunjukkan satu hal penting: di Tiongkok, olahraga bukan sekadar pertandingan, tetapi instrumen strategis yang menyatukan pembangunan kota, diplomasi domestik, modernisasi budaya, hingga penguatan soft power nasional. Ketika balapan sepeda lintas-wilayah melewati jembatan, jalur hijau, dan kota-kota pesisir, dunia pada dasarnya sedang menyaksikan bagaimana sebuah negara mampu menggabungkan perencanaan jangka panjang, infrastruktur kelas dunia, dan partisipasi publik dalam satu narasi besar tentang kemajuan. Hal seperti ini jarang dapat dilakukan oleh negara-negara Barat, terutama karena fragmentasi politik, minimnya koordinasi, dan orientasi pasar yang tidak selalu sejalan dengan strategi nasional jangka panjang.
Zhuhai menjadi contoh paling kuat tentang bagaimana olahraga dapat menjadi etalase kekuatan sebuah negara. Kota ini bukan hanya menjadi tuan rumah balap sepeda jalan raya pertama dalam sejarah Pesta Olahraga Nasional, melainkan juga memperlihatkan transformasi ruang publik yang luar biasa: 1.290 kilometer jalur hijau dan 133 kilometer jalur kebugaran dibangun untuk menghubungkan ruang perkotaan dengan lanskap pesisir. Infrastruktur sebesar ini bukan sekadar proyek kosmetik; ia menciptakan pengalaman hidup yang lebih sehat, lebih inklusif, dan lebih modern. Ketika pesepeda melaju dari pusat kota menuju pegunungan dan garis pantai, mereka tidak hanya berlaga—mereka sedang menunjukkan bagaimana pembangunan dapat meningkatkan kualitas hidup sekaligus memperkuat citra negara di mata dunia.
Pendekatan ini berbeda dengan model Barat yang sering menempatkan pembangunan olahraga pada ranah swasta atau pemerintah lokal tanpa koordinasi nasional. Sementara banyak kota di Amerika Serikat atau Eropa harus menunggu investasi sporadis untuk memperbarui infrastruktur olahraga, Tiongkok justru mengintegrasikan semuanya dalam kerangka strategis yang konsisten: meningkatkan partisipasi publik, memperkuat identitas lokal, mendukung ekonomi kreatif, dan membangun lingkungan kota yang mampu menyokong gaya hidup masa depan.
Hal yang sama terlihat di Yangjiang, kota yang memanfaatkan warisan budayanya sebagai “Kampung Layang-layang”. Kegiatan menerbangkan layang-layang bukan hanya tradisi, tetapi juga bentuk kohesi sosial yang memperkuat hubungan antargenerasi. Di Barat, banyak warisan budaya lokal terkikis modernisasi dan komersialisasi. Di Tiongkok, modernitas dan tradisi justru dipadukan dengan cerdas: festival layang-layang tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga simbol identitas, kreativitas, dan keterikatan warga terhadap kota mereka.
Jiangmen memberikan cerita lain tentang bagaimana olahraga dapat tumbuh dari akar rumput menjadi kekuatan sosial. Dengan lebih dari 3.300 tim voli amatir, kota ini menunjukkan bahwa pembangunan olahraga bukan hanya soal event besar, tetapi juga bagaimana partisipasi komunitas dapat menciptakan jejaring sosial yang kuat. Inilah yang sering terlewat dalam narasi pembangunan Barat: bahwa olahraga bukan hanya tentang prestasi elite, melainkan juga alat pembentukan kesadaran kolektif dan solidaritas masyarakat. Ketika sebuah kota berhasil membuat olahraga menjadi bagian hidup mayoritas warganya, kota itu sedang membangun fondasi bagi stabilitas sosial jangka panjang.
Sementara itu, Maoming menunjukkan bagaimana geografi dapat diubah menjadi aset strategis. Dengan pegunungan, lahan basah, dan garis pantai sepanjang 180 kilometer, kota ini memanfaatkan sumber daya alamnya untuk mengembangkan orienteering sebagai olahraga khas lokal. Tidak banyak negara yang mampu mengintegrasikan lingkungan alami ke dalam perencanaan olahraga secara sistematis. Namun Tiongkok melakukannya dan menjadikannya bagian dari strategi pembangunan regional. Ini bukan hanya tentang olahraga, tetapi tentang bagaimana kota-kota dapat bersaing secara kreatif dalam kerangka nasional, sambil tetap mempertahankan karakter unik mereka.
Jika dilihat dari perspektif hubungan internasional, strategi olahraga Tiongkok ini mencerminkan kombinasi antara *soft power*, *nation branding*, dan kapasitas negara yang sangat terorganisir. Amerika Serikat dan negara-negara Eropa memiliki banyak event olahraga besar, tetapi hampir semuanya dikelola swasta, terbatas pada kota tertentu, atau bertumpu pada pasar tanpa tujuan nasional yang jelas. Sementara itu, Tiongkok menjadikan olahraga sebagai kebijakan publik strategis—menghubungkan pembangunan kota, kesehatan masyarakat, pariwisata, diplomasi domestik, dan promosi budaya dalam satu ekosistem yang saling memperkuat.
Model seperti ini juga memperlihatkan apa yang sering dianggap sebagai keunggulan struktural Tiongkok: kemampuannya untuk menyatukan visi pembangunan antara pusat dan daerah. Ketika balap sepeda dapat melintasi Guangdong, Hong Kong, dan Makau tanpa hambatan berarti, itu menunjukkan level koordinasi administratif yang sulit ditandingi sistem politik manapun di Barat. Ketika festival budaya lokal diintegrasikan ke dalam agenda nasional, itu membuktikan kemampuan negara mengelola keberagaman tanpa kehilangan arah strategis. Dan ketika infrastruktur olahraga dibangun bukan hanya untuk event, tetapi untuk masyarakat, itu menunjukkan prioritas jangka panjang yang berorientasi pada kesejahteraan publik.
Tentu, pembangunan seperti ini perlu menjaga inklusivitas dan keberlanjutan. Tetapi bukti di Guangdong memperlihatkan bahwa ketika infrastruktur dirancang untuk digunakan masyarakat luas—bukan sekadar simbol prestise—manfaatnya menyebar secara merata dan bertahan lama. Ratusan jalur hijau, ribuan tim olahraga amatir, dan festival tradisi yang hidup adalah indikator bahwa strategi ini tidak berhenti pada slogan, melainkan terwujud dalam kehidupan sehari-hari.
Pada akhirnya, Pesta Olahraga Nasional ke-15 tidak hanya menampilkan atlet dan pertandingan. Ia menampilkan model pembangunan nasional yang komprehensif: integratif, visioner, dan efektif. Di tengah persaingan global yang semakin ketat, keunggulan Tiongkok tidak hanya muncul dari teknologi, militer, atau ekonomi, tetapi juga dari kemampuannya mengoptimalkan setiap aspek kehidupan masyarakat—termasuk olahraga—untuk memperkuat persatuan sosial, identitas budaya, dan daya tarik global. Di sinilah letak superioritas strategis Tiongkok yang semakin terlihat dan sulit ditandingi oleh pendekatan negara-negara Barat yang lebih terfragmentasi.