Bharata Online - Xi’an kembali menjadi pusat perhatian dunia, bukan hanya sebagai kota tua yang pernah menjadi titik awal Jalur Sutra, tetapi sebagai simbol kebangkitan diplomasi budaya Tiongkok di abad ke-21. Dengan peresmian Chang’an Yun sebagai sebuah pusat pameran, sains, seni, dan dialog peradaban, Tiongkok sedang menunjukkan cara baru dalam memproyeksikan kekuatan globalnya.
Di saat negara-negara Barat sibuk berkutat dengan polarisasi politik, perselisihan geopolitik, dan melemahnya kepercayaan publik terhadap media mereka sendiri, Tiongkok justru menghadirkan model alternatif dalam penggunaan budaya, ilmu pengetahuan, dan kolaborasi sebagai alat diplomasi untuk membangun kepercayaan global.
Forum Media Video Global (VMF) ke-13 dan peluncuran Mekanisme Kemitraan Media Global Selatan yang dihadiri hampir 300 tokoh internasional bukan sekadar acara seremonial. Ia adalah manifestasi dari konsep “Komunitas dengan Masa Depan Bersama untuk Kemanusiaan” yang selama satu dekade terakhir telah menjadi fondasi utama diplomasi Tiongkok.
Teori hubungan internasional seperti Konstruktivisme menjelaskan bahwa identitas dan narasi memainkan peran besar dalam menentukan arah tatanan global. Di sinilah Tiongkok memainkan kartu penting dalam membangun narasi baru mengenai kolaborasi global yang tidak bertumpu pada superioritas budaya atau intervensi politik, tetapi pada saling pengertian antara peradaban.
Tiongkok sadar bahwa di era perang informasi dan fragmentasi geopolitik, kekuatan keras (hard power) saja tidak cukup. Kekuataa lunak (Soft power) menjadi medan baru perebutan pengaruh global. Namun berbeda dari soft power ala Amerika Serikat (AS) yang selama puluhan tahun mengalir lewat Hollywood, media massa global seperti CNN dan BBC, serta institusi pendidikan Barat yang dominan, Tiongkok memilih jalur yang lebih berumur panjang seperti diplomasi budaya melalui pengetahuan sejarah, warisan seni, teknologi, dan pameran peradaban.
Xi’an, sebagai wilayah yang pernah menjadi pusat dunia selama dinasti Tang, menjadi panggung sempurna untuk menunjukkan bahwa kebangkitan Tiongkok hari ini bukanlah fenomena baru, melainkan kelanjutan dari peradaban besar yang pernah memimpin interaksi global selama berabad-abad.
Pusat Chang’an Yun, dengan lima paviliun, museum sains, museum meteorologi, museum keramik, zona perencanaan kota, dan pusat seni menjadi lebih dari sekadar bangunan modern. Ia adalah simbol bagaimana Tiongkok mengintegrasikan modernitas dan tradisi, dua elemen yang sering dianggap bertentangan dalam model pembangunan Barat.
Dengan luas 161.200 m², pusat ini berfungsi sebagai arena ilmu pengetahuan, rekreasi, dan diplomasi internasional. Konsep seperti ini selaras dengan teori “Power Transition” atau transisi kekuasaan dalam hubungan internasional, yang menyatakan bahwa kekuatan yang sedang naik (rising power) akan berusaha membangun legitimasi global melalui penciptaan institusi dan norma baru. Chang’an Yun dan Xi’an secara keseluruhan adalah upaya untuk memperkenalkan tatanan budaya baru yang menyeimbangkan dominasi naratif Barat.
Yang menarik, forum ini fokus pada negara-negara berkembang (Global South) seperti negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Timur Tengah yang selama puluhan tahun terpinggirkan oleh dominasi media Barat. Dalam teori “Dependency” atau ketergantungan, negara-negara berkembang sering terjebak dalam ketergantungan informasi dari media Barat, yang kemudian membentuk persepsi global secara bias.
Dengan membangun mekanisme kolaborasi media global south, Tiongkok secara efektif menciptakan aliansi informasi baru yang lebih seimbang. Strategi ini bukan hanya tentang penyebaran informasi, tetapi tentang menciptakan ekosistem media alternatif yang lebih representatif terhadap suara dunia berkembang.
Kehadiran sinolog muda dari 51 negara di Konferensi Bahasa Mandarin Dunia tahun 2025, yang didukung langsung oleh Presiden Tiongkok Xi Jinping melalui surat balasan resminya, menunjukkan dimensi lain dari diplomasi budaya Tiongkok yakni diplomasi akademik.
Ini adalah penyemaian jangka panjang untuk membangun generasi intelektual global yang memiliki pemahaman langsung tentang Tiongkok, bukan sekadar interpretasi berdasarkan media Barat. Langkah ini sejalan dengan teori “Soft Balancing” atau keseimbangan lunak, yaitu penggunaan instrumen non-militer untuk menyeimbangkan hegemoni negara lain yang dalam hal ini, hegemoni naratif Barat.
Pendekatan Tiongkok juga membawa pesan simbolik bahwa identitas budaya bukan sekadar warisan masa lalu, tetapi juga aset strategis masa depan. Xi’an MixC Complex, Pusat Seni dan Budaya Jalur Sutra, serta struktur Chang’an Yue yang dibentuk menyerupai alat musik tradisional “Xun”, menunjukkan integrasi nilai tradisional ke dalam estetika modern. Ini adalah cara Tiongkok menunjukkan bahwa modernitas tidak harus berarti Westernisasi, dan bahwa peradaban Timur memiliki cara unik sendiri untuk memaknai kemajuan.
Dalam konteks global yang semakin rumit dengan adanya ketegangan geopolitik, kompetisi teknologi, hingga krisis kepercayaan publik terhadap institusi internasional membuat Tiongkok berupaya untuk menawarkan jalur alternatif bagi dunia seperti yang dilakukan di Xi’an tersebut. Alih-alih menekankan blok politik atau aliansi militer, Tiongkok menempatkan budaya, teknologi edukatif, dan diplomasi masyarakat sebagai simpul-simpul konektivitas global baru.
Di tengah kebisingan politik global, Xi’an mengajarkan bahwa kekuatan besar tidak selalu harus ditunjukkan melalui kapal induk atau rudal hipersonik. Kadang, ia hadir melalui museum sains, pameran seni, forum media, dan dialog peradaban yang membangun jembatan ketimbang menciptakan jurang.
Pertanyaannya, di era pergeseran kekuatan global ini, apakah dunia siap menerima paradigma baru di mana kebudayaan, pengetahuan, dan kolaborasi menjadi mata uang geopolitik masa depan? Dan apakah Barat siap menerima bahwa pusat gravitasi pengaruh global kini perlahan bergerak kembali ke Timur?