Bharata Online - Panasnya hubungan Tiongkok–Jepang pada November 2025 setelah pernyataan Perdana Menteri (PM) Jepang, Sanae Takaichi, mengenai Taiwan bukan hanya memicu ketegangan diplomatik. Ia sekaligus mempercepat salah satu krisis ekonomi paling signifikan bagi Jepang dalam dekade terakhir, yaitu ambruknya kekuatan industri otomotif mereka di pasar Tiongkok.
Fenomena ini memperlihatkan satu realitas strategis yang semakin tak terbantahkan dalam arsitektur hubungan internasional modern, geopolitik bukan lagi sekadar latar belakang, melainkan variabel penentu yang langsung memengaruhi preferensi konsumen, arus modal, dan keberlangsungan industri besar.
Pameran Otomotif Internasional Guangzhou ke-23, yang diadakan hanya beberapa pekan setelah pernyataan provokatif Takaichi tentang “intervensi bersenjata Jepang di Selat Taiwan”, menjadi panggung paling jelas dari dampak domino tersebut. Merek-merek mobil Jepang yang dahulu menjadi simbol keandalan dan efisiensi kini menurun drastis pamornya.
Pangsa pasar mereka di Tiongkok telah jatuh menjadi kurang dari 11,2 persen sejak tahun 2024, sebuah angka yang bahkan belum pernah dibayangkan oleh para analis satu dekade lalu ketika Toyota, Honda, dan Nissan berjaya sebagai pemain dominan kawasan Asia Timur.
Dari perspektif geopolitik, pernyataan Takaichi telah menabrak titik paling sensitif dalam fondasi hubungan Tiongkok–Jepang. Politik “Satu Tiongkok” bukan hanya isu diplomatik, tetapi juga prinsip dasar yang membentuk stabilitas hubungan dagang kedua negara. Ketika seorang PM Jepang menyiratkan kemungkinan penggunaan kekuatan militer terhadap Tiongkok terkait Taiwan, dampaknya terhadap persepsi publik dan pelaku pasar menjadi seketika dan luas.
Konsumen Tiongkok mulai mempertimbangkan ulang membeli produk Jepang, bukan semata karena efisiensi atau fitur kendaraan, tetapi karena faktor simbolik dan nasionalisme yang memainkan peran semakin kuat dalam perilaku pasar negara besar seperti Tiongkok. Konsekuensinya langsung terlihat. Produsen Jepang di Tiongkok mengalami penjualan terburuk sejak mereka memasuki pasar raksasa tersebut.
Dalam perspektif teori hubungan internasional, fenomena ini dijelaskan dengan mudah melalui lensa konstruktivis seperti identitas dan persepsi negara yang memengaruhi keputusan ekonomi individu dan kolektif. Pernyataan Takaichi tidak hanya dibaca sebagai posisi politik, tetapi juga sebagai provokasi yang memicu rasa ketersinggungan nasional di Tiongkok. Dalam situasi seperti ini, mobil bukan lagi sekadar barang konsumsi, tetapi juga representasi sikap politik.
Namun, ini bukan satu-satunya faktor yang membuat nasib industri otomotif Jepang memburuk. Realitas ekonomi memperlihatkan bahwa merek Tiongkok telah bergerak jauh lebih cepat dan agresif dalam teknologi kendaraan listrik. Dalam kerangka realisme ekonomi, negara yang mampu membangun keunggulan teknologi strategis akan memegang kendali pasar.
Tiongkok telah memimpin pengembangan baterai, ekosistem kendaraan listrik, dan integrasi teknologi digital dalam kendaraan. Sementara Jepang, terlalu lama bertahan pada platform hybrid dan model konvensional. Ketika konsumen Tiongkok yang sangat mahir dalam teknologi mencari inovasi, maka merek lokal seperti BYD, NIO, HiPhi, dan Li Auto tampil sebagai representasi kemajuan bukan lagi hanya alternatif murah.
Pernyataan Takaichi membuat situasi yang sudah buruk menjadi semakin parah. Jika sebelumnya produsen Jepang kalah karena lambat berinovasi, kini mereka juga kehilangan simpati publik. Seorang analis otomotif, Zeng Yingzhuo, bahkan menegaskan bahwa “merek Jepang merosot bukan hanya karena kalah teknologi, tetapi juga karena produsen Tiongkok semakin kuat secara struktural dan politis”.
Dalam perspektif liberal-institusionalis, hubungan ekonomi antarnegara sangat dipengaruhi oleh stabilitas politik. Ketika stabilitas itu diguncang oleh komentar provokatif seorang pemimpin negara, kerja sama industri ikut retak. Pemerintah dan kalangan bisnis Jepang sendiri mulai gelisah. Jurnalis senior Kimura Tomoyoshi menyebut pernyataan Takaichi sebagai “kesalahan fatal”, bahkan memperingatkan bahwa Jepang tidak akan mampu menyelamatkan perekonomiannya jika hubungan dengan Tiongkok runtuh.
Pernyataan ini bukan retorika kosong, mengingat Tiongkok adalah mitra dagang terbesar Jepang. Industri otomotif Jepang yang kini terus merugi di Tiongkok adalah bukti paling nyata dari efek ekonomi langsung yang dipicu oleh kebijakan luar negeri yang tidak terukur.
Dalam teori interdependensi kompleks, negara-negara modern saling terhubung melalui hubungan ekonomi, logistik, dan teknologi. Ketika salah satu pihak mengambil tindakan politik yang merusak keterhubungan tersebut, efeknya menjalar ke berbagai sektor. Industri otomotif Jepang mengalami itu secara frontal.
Toyota, Honda, dan Nissan tidak hanya menghadapi penjualan yang merosot, tetapi juga terpaksa menutup pabrik, menunda produksi, dan mengurangi investasi di Tiongkok, sebuah tindakan yang berpotensi melemahkan daya saing mereka di pasar global dalam jangka panjang.
Di sisi lain, Tiongkok justru memperkuat posisinya. Pameran Guangzhou menunjukkan betapa percaya dirinya industri lokal. Mobil listrik Tiongkok tidak hanya lebih murah, tetapi juga inovatif dan terintegrasi dengan layanan digital yang menjadi kebutuhan generasi muda. Merek Jepang yang dulunya menjadi tolok ukur atau patokan kualitas kini terlihat konservatif, lambat, dan kurang relevan.
Pernyataan Takaichi, dalam konteks ini, menjadi katalis yang mempercepat perpindahan arus pasar menuju merek Tiongkok. Dengan kata lain, Jepang bukan hanya kalah secara teknologi melainkan juga kalah secara politik. Dan karena kedua negara ini terikat dalam hubungan ekonomi besar, satu kesalahan kebijakan luar negeri cukup untuk memicu guncangan ekonomi signifikan.
Oleh karena itu, jika Tokyo ingin memulihkan industri otomotifnya di Tiongkok, mereka harus melakukan dua hal sekaligus. Pertama, mempercepat transformasi teknologi agar bisa menandingi kecepatan inovasi Tiongkok. Kedua, meredakan ketegangan diplomatik demi memulihkan kepercayaan konsumen dan pelaku pasar. Tanpa langkah ini, Jepang akan terus kehilangan pijakan di pasar otomotif terbesar dunia, dan industri yang selama puluhan tahun menjadi kebanggaan ekonomi mereka akan semakin merosot.
Pada akhirnya, krisis ini menjadi pengingat bahwa dalam geopolitik modern, satu pernyataan salah dari seorang pemimpin dapat menghilangkan miliaran dolar nilai ekonomi. Jepang sedang merasakannya, dan Tiongkok melalui kekuatan industri dan stabilitas politiknya kini berada pada posisi yang jauh lebih kuat untuk menentukan arah masa depan industri otomotif global.